Selasa, 30 Juni 2020

WHY

Pernahkah dalam hidupmu terpikir untuk konsul ke dokter onkologi? Gue yakin sebagin besar pasti pada ngga pernah terpikir. 

Apa worst case skenario saat elu ketemu benjolan di payudara elu? benar, penyakit mematikan itu. Sejujurnya dalam hidup gue, ada beberapa orang yang gue kenal dan pernah kena penyakit itu. Namun saat orang lain yang terkena, elu mungkin ngeri sesaat tapi karena bukan elu yang kena vonis jadi elu hanya bersimpati dengan si penderita. 

Berapa banyak orang yang sadar saat ada kenalan yang kena penyakit itu dan memutuskan untuk mengubah pola hidup dan rutin melalukan medical check up? Saya rasa masih jarang untuk yang ini. Karena mengubah pola hidup itu bukan hal gampang dan biaya medical check up juga tidak murah. Apalagi urusan kesehatan di Indonesia itu masih carut marut. 

Padahal seharusnya jika ada orang dekat yang terkena kanker (misal orang tua atau saudara), ada baiknya dijadikan peringatan dini untuk mulai melakukan pencegahan meski tidak 100%. Pertama rutin cek USG payudara bila ada kerabat yang terkena. 

Seperti yang yang hari ini gue alami. Setelah shock mendengar vonis dokter dan nangis di RS, gue coba memasang wajah tegar buat ortu gue, karena kalau gue nangis mereka bakal lebih patah semangat. Di satu sisi, gue merasa kasihan dengan ortu gue yang terpaksa harus pusing di usia tua mereka. Tapi siapa juga yang mau terkena penyakit ini?

Bukan kematian yang gue takutkan, sebagai orang beriman dan sebisa mungkin berusaha siap untuk dipanggil kapan pun, kematian itu suatu hal yang tidak mungkin dihindarkan manusia. Hanya saja proses menuju kesana itu tidak seorang pun tahu. Padahal gue selalu bermimpi dan berangan-angan bisa pergi dengan cepat dan tidak menyusahkan keluarga. 

Jadi apa yang gue lakukan dengan hidup gue sekarang? Pertanyaan sederhana tapi sulit. Selama ini gue terbiasa bekerja. Ada kalanya gue menikmati pekerjaan gue, ada kalanya tidak. Jika ada hal yang gue benci dari bekerja ada waktu yang tidak flexibel. Seperti sekarang saja, gue harus mikir antara menyelesaikan pekerjaan gue dengan kapan operasi pengangkatan tumor.  Karena di kantor tidak banyak orang jadi gue ga bisa dadakan cuti untuk waktu yang lama.

Sejujurnya agak sulit mengatakan kepada orang lain atau yang ngga dekat kalau gue terkena penyakit itu. Gimana yah gue ngga siap jadi pusat perhatian orang-orang dengan tatapan iba belum kalau ditanya-tanya. Rasanya ngga nyaman gitu. 

Lain masalah kalau gue udah ngga di kantor, gue ngga peduli jadi bahan omongan. Selain itu biaya pengobatan kanker sangat mahal, ortu gue bahkan rencana jual rumah. Tapi jual rumah juga tidak cepat dan kami mungkin akan membeli rumah baru yang lebih kecil. .

Yah Tuhan, andaikan ini hanya sebuah mimpi buruk, mohon segera bangunkan gue. 


Senin, 16 September 2019

CAPEK

Egoiskah kalau aku igin berhenti bekerja karena capek?
Egoiskah kalau sebenarnya yang kuinginkan bukan berhenti kerja tetapi istirahat cukup panjang (sebulan) sebelum lanjut dengan suasana baru yang lebih kondusif.
Egoiskah aku kalau ingin ini dan itu?

Sudah 2 minggu aku masuk kantor baru, yang mungkin karena masih adaptasi aku merasa nggak betah. Pertama sebagai seorang introvert, suasana berisik di kantor membuatku sakit kepala. Berbeda dengan kantor lama yang suasana cenderung tenang (sampai bikin ngantuk), kantor baruku seperti pasar. Orang-orang saling berbicara keras satu sama lain. Misal sebelah kamu yang cuma berjarak 30 cm lagi ngomong sama kamu, orang lain yang berada di samping mu juga ikut ngomong sama yang lain sampai kamu tak merasa yakin apa yang kamu dengar karena berisik.

Tambah lagi, bos di sini boleh terbilang berbeda dengan bos kantor lama yang cenderung kalem. Bos di sini tipe bos yang ingin karyawannya tahu apa pun. Jadi nih aku harus tau si A pergi kemana, si B pergi kemana.

Sebenarnya aku di sini masih probabation. Setelah 3 bulan baru nasibku akan ditentukan apakah aku akan diangkat jadi karyawan tetap atau tidak?

Tapi aku sudah dalam tahap tidak peduli apakah aku akan jadi karyawan tetap atau tidak. Aku lelah dengan pekerjaan import. Harus kuakui pekerjaanya lebih sibuk daripada kantor lama. Saat istirahat pun semua orang berbicara pekerjaan. Berbeda dengan kantor lama yang topik obrolan tidak jauh-jauh dari film bioskop dan infotainment (yang ini gak penting sih). Bahkan andai nanti aku dinyatakan "lulus" untuk jadi karyawan tetap, aku mungkin tidak akan mengambilnya. Karena aku capek dengan pekerjaan import. 

Dan karena 2 mingguan ini stress, aku sekarang sakit flu berat (batuk, pilek, sakit kepala). Bayangkan kalau kerja lebih lama, apalagi boss-nya  tipe yang kalau marah, apa saja bisa keluar. 

Intinya begini, ritme kerja di import itu harus cepat dan aku capek, nyaris 6 tahun bekerja seperti itu terus. Bahkan hubungan dengan orang lain jauh lebih banyak di sini (yah gpp sih hubungan dengan banyak orang, tapi untuk awal rasanya bingung).

Mereka juga mengajarkan dan menjelaskan sesuatu itu cepat sekali, jadi aku harus benar-benar menyimak apa yang mereka katakan. 

Aku tahu, cari kerja susah, apalagi dengan umurku yang mendekati 40 tahun. Orang-orang pun akan berpikir 3 kali untuk mempekerjakanku dan harus kuakui energi dan kesehatanku banyak terkuras karena pekerjaan import yang telah kujalani nyaris 6 tahun. 

Tapi aku tidak ingin ada penyesalan juga karena keluar. Karena seandainya nggak mencoba juga bakal menyesal. Walau peribahasa untuk keadaanku sekarang ini, "keluar mulut harimau dan masuk mulut buaya."

Jadi apa yang kuinginkan? Andai ada modal, aku ingin berdagang saja (seperti Cina pada umumnya). Dagang online apa saja. Aku bukan tipe yang berharap akan menjadi kaya atau bagaimana. aku sudah tidak punya ambisi untuk itu. Yang kuinginkan hanya satu, merasa tenang dan damai. Aku sering membayangkan hidup di kota kecil di Indonesia dan punya toko.

Aku tidak punya banyak privilise soal jaminan hidup. Keluargaku tidak ada usaha atau toko untuk diwariskan. Satu-satunya yang membuat bebanku sedikit berkurang, aku juga nggak punya tanggungan macam anak atau KPR. Yah, paling asuransi saja.  

I guess, I just try to keep surviving although at some point I wanna die.
I cannot expect my family as my support system since they also have many problems. 

Sabtu, 09 Maret 2019

TRADISI ATAU IKATAN?

Ceritanya beberapa hari terakhir ini karena habis melayat ke rumah duka. Dari situ ada beberapa cerita. Yah bukan cerita menarik gimana sih tapi mungkin bisa dijadiin pelajaran buat gue.



Pertama soal dikubur atau dikremasi?
Kadang ada orang-orang, biasa yang sudah tua atau sakit yang memang udah tinggal menunggu waktu saja yang sudah berpesan nanti meninggalnya mau dikubur atau dikremasi. Tapi waktu bahas sama Indah, ini sebenarnya lebih ke hak orang yang masih hidup untuk menentukannya, karena kalau sudah meninggalkan dunia ini, seharusnya orang yang meninggal sudah tidak perlu memikirkan lagi bagaimana ia akan dimakamkan, karena urusan pemakaman adalah urusan mereka yang masih hidup. 

Meski begitu, gue termasuk yang berpendapat tidak apa-apa menuruti keinginan terakhir orang yang akan meninggal, selama memang kita mampu. Misal, orang tersebut minta dikubur, yah sudahlah kita kuburkan saja selama kita juga mampu juga untuk merawat makamnya. Lalu ada lagi alasan, kali ini dari nyokap gue. Menurut nyokap kalau seseorang dimakamkan itu lebih baik daripada dikremasi, karena ada sesuatu untuk dikenang dan diberitahukan ke anak cucu. Sejujurnya, gue gak terlalu setuju sama alasan nyokap gue sih, karena menurut gue, kenangan itu hanya bisa dibentuk bila seseorang punya suatu ikatan dengan seseorang. Kalau cuma menuruti tradisi, itu selayaknya seperti membaca buku sejarah, kita hanya sekedar tahu tanpa mengenal. 

Untuk gue pribadi, karena gue lahir dari keluarga yang hidup berdasarkan kepraktisan, gue ngga punya "bonding" khusus dengan ortu gue. Ortu gue tipe yang bukan jarang lagi tapi nggak pernah yang namanya ngomong dari hati ke hati sama anak-anaknya. Mereka tipe yang menganggap, anak-anak harus mendengar apa kata orang tua terlepas apakah si anak setuju atau ngga dan ortu benar atau salah. Bokap gue tipe yang kalau lagi marah itu, cara terbaik menghadapinya adalah diam. Karena kalau kitanya semakin "nyahut" maka dia semakin marah. Ini bukan hal yang baik, karena justru akan menimbulkan masalah komunikasi di keluarga. Cuma susah juga sih bilang ini sama ortu, karena ortu gue itu generasi baby boomer, di mana mereka beranggapan semua perkataan dan perintah ortu itu adalah absolut. 

Balik ke masalah bonding, ini menurut gue ya, cuma daripada hanya mengikuti tradisi yang sebenarnya nggak terlalu personal, gue lebih suka kalau kita membuat tradisi sendiri dengan orang yang benar-benar kita anggap penting. Gue gak akan bahas soal gue sama ortu, secara ortu gue udah terlalu tua untuk bisa diubah. Misal andai gue punya pasangan, tiap ultahnya, gue ingin buat "tradisi" atau ikatan di mana hanya gue dan dia yang merasakan, misal ala dating deh. Jadi tiap ultah, gue dan dia akan nonton salah satu film favorit dia (entah donlot atau DVD) trus kita akan bahas soal film itu dan setelahnya gue masakin makanan favorit dia atau kalau ngga bisa masak, gue bakal pesan. Andai kata dia meninggal, mungkin di tiap ultahnya, gue akan tetap melaksanakan ritual yang sama untuk mengenang dia (bakal sedih pastinya, biasa berdua, sekarang sendiri).

Dibanding kalau gue dan dia ngga punya ritual apa pun dan hubungan gue sama dia juga biasa saja atau praktis aja, cuma demi tradisi, maka tiap cengbeng (misalkan) gue ke makamnya tapi berasa setengah hati. Karena menurut gue apa yang sebenarnya membentuk keluarga adalah ikatan atau bonding. Dari ikatan itu akan lahir kenangan saat waktu bersama seseorang berlalu.

Gue masih mengkondisikan gue datang dari bad house, sebuah keluarga disfungsional. Kalau bertanya sama nyokap, pernikahan itu buat apa? Maka nyokap gue pasti jawabannya kepraktisan, supaya ada yang bantu untuk menafkahi alih-alih paham ideal macam berbagi kebahagiaan. Karena itu nyokap gue selalu cemas, andai bokap gue udah nggak ada gimana dia hidup nanti, harapan nyokap yah cuma menumpang sama anak-anaknya. Buat nyokap, anak adalah investasi untuk merawat di hari tua dan juga asisten buat disuruh-suruh.

Bokap gue juga pandangannya ngga jauh beda sama nyokap. Makanya bokap selalu bilang, gue sebaiknya angkat anak untuk temenin (baca: urus) pas tuan nanti andai gue niat ngga menikah. Cuma masalahnya, bokap gue sadar ngga sih jaman sudah berubah. Memangnya urus anak ngga perlu biaya? Pendidikan  tuh ngga murah. Jangan menggampangkan sesuatu ala nyokap gue yang jawabnya enak, masukin sekolah negeri saja dan pakai KJP. Beuh, tau sendiri kualitas dan pergaulan sekolah negeri kayak apa? Trus jaminan apa tuh anak mau urus kita pas tua? Emang anaknya ngga ada keinginan dan kebutuhan pribadi? Ini juga salah satu hal yang bikin gue sulit respek sama kedua ortu gue, karena anak cuma dianggap investasi hari tua.

Kalau pun memang mau mengivestasikan sesuatu sama anak, investasikan macam teladan baik melalui contoh dan tindakan bukan nasehat murah di mulut. Soal siapa yang mengasuh atau merawat pas tua nanti, seharusnya itu jadi beban kita sewaktu muda untuk memikirkan masa depan kita. Baiknya anak juga kita bekali sebaik-baiknya supaya mandiri. Jadi idealnya, orang tua ngga menyusahkan anaknya pas tua dan anak juga jangan menyusahkan orang tuanya karena nggak mandiri.

Yah sebenarnya nggak salah juga jawaban menikah supaya ada yang menafkahi dan membantu bayar cicilan, cuma menurut gue itu awal yang salah, karena membuat seseorang jadi menggantungkan kehidupan dan kebahagiannya kepada orang lain. Kalau ternyata nggak sesuai ekspektasi yang ada kecewa dan jadinya malah menuntut orang lain untuk memenuhi harapannya.

Cinta itu tulus dan  sederhana.
Menikah itu rumit, butuh kesiapan mental dan finansial.

Jangan menikah karena tradisi.
Menikahlah karena ingin memperkuat ikatan yang sudah ada.

Jadi? Putuskan sendiri.

Minggu, 25 Maret 2018

Berbicara Mengenai OTP part 2


Bila sebelumnya gue membahas Trunks dan Mai dalam Berbicara Mengenai OTP. Kali ini gue mau membahas 1 OTP dari komik dan 1 OTP dari game. BTW, kalau penasaran OTP itu apa, jawabannya, One True Pairing. 

OTP pertama adalah Eshilde Barder & Leo Baida (terjemahan bahasa Inggrisnya Eshild & Ryan) dari komik Princess. Eshilde & Leo ini bukan karakter utama dari komik Princess, tapi ada kalanya karakter pendukung lebih keren daripada karakter utama. Eshilde ini cewek yang karakternya berapi-api (fiercely), sangat keras kepala, tidak bisa diatur baik oleh ayahnya sendiri maupun kekasihnya Leo. Sebagaimana wanita bangsawan, Eshilde ini angkuh dan mempunyai harga diri yang tinggi. Namun tidak seperti kebanyakan wanita bangsawan yang berusaha tampil anggun dan feminin, Eshilde ini tomboy. Dia suka bermain perang-perangan dan berinisiatif belajar berpedang, yang rata-rata bukan untuk perempuan. Dia juga cerdas, karena suka membaca buku dan haus akan ilmu pengetahuan. 

Selasa, 29 Agustus 2017

My First Solo Trip

Sudah sejak lama sekali gue ingin menjajal solo traveling. Benarnya sudah sangat telat di umur gue yang udah 1/3 abad baru melakukan solo trip (karena idealnya menurut gue, memulai solo trip itu di umur twenty something). Tapi gpp lah, better late than never. Salah satu alasan gue telat melakukan solo trip karena keluarga gue nggak pernah memberi izin untuk melakukan solo trip ke gue dengan alasan "GUE CEWEK". Alasan yang sangat diskriminatif dan selalu membuat gue geleng-geleng kepala. Jadi gue terpaksa berbohong (walau gue sangat tidak nyaman dengan berbohong), tapi ada kalanya kita harus sedikit nekad kalau keinginan kita ingin tercapai. Jadi gue terpaksa berbohong dengan bilang gue pergi sama teman gue si Y (yah terpaksa gue bawa-bawa nama dia demi izin solo trip gue). 

Jadi ceritanya, sudah sejak setahun lalu gue memasukkan solo trip dalam wish list gue. Selain karena penasaran, gue selalu merasa nggak pernah puas kalau jalan-jalan bareng keluarga. Banyak tempat yang gue mau pergi tapi nggak bisa karena beberapa kendala kalau pergi sama keluarga. Jadi kebebasan adalah salah satu alasan utama gue untuk melakukan solo trip. Gue bisa bebas pergi kemana saja dan berlama-lama di suatu tempat tanpa ada yang mengeluh karena merasa bosan atau minta cepat-cepat (ini gue ngomongin nyokap sih).

Kamis, 01 Juni 2017

Tolong berhenti turut campur akan hidup anak-anakmu

Gue nulis postingan ini karena gue lagi kesel. Bukan hal bijaksana sebenarnya menulis blog saat lagi emosional. Tapi gue juga khawatir kalau gue udah lebih tenang, yang ada gue malah malas nulisnya.

Jadi gini, seperti yang kebanyakan anak-anak dari para generasi  baby boomers alami mengenai status single/nikah yang suka jadi momok. Tau sendirilah para ortu baby boomers sebagian besar cita-citanya cuma mau melihat anak-anaknya nikah atau menikahkan anak. 

Padahal nikah itu bukan perkara gampang seperti membalik telapak tangan. Apalagi jaman makin maju, tuntutan juga makin tinggi. Dan sekarang beberapa orang sudah sadar kalau menikah itu bukan lagi satu-satunya tujuan hidup. Tapi karena kita bicara soal baby boomers apalagi nyokap gue yang emang menolak berpikiran progresif, maka gue mau curhat.

Selasa, 14 Maret 2017

Picky & Galau

Judul  "Picky & Galau" yang ada dalam postingan blog gue kali ini terinspirasi dari twits salah satu seorang pengguna twitter yang gue follow.

Jadi ada dalam salah satu rangkaian twitsnya yang menceritakan kisah cewek-cewek berumur antara 30-40 tahun yang galau dan picky soal jodoh. Bahasa ejekannya adalah cewek-cewek perawan tua. Mereka ini galau karena belum dapat jodoh juga meski usia mereka sudah sangat "matang" yang diakibatkan terlalu picky/pemilih dalam memilih jodohnya. 

Kebanyakan cewek-cewek itu maunya dapat jodoh cowok yang ganteng, tajir, baik, setia. Sementara, tau sendiri umur mereka ini boleh dibilang sudah termasuk kategori umur yang kalau untuk cewek itu tergolong mendekati (maaf) menopouse. Dan apa ada (normalnya, karena kita hidup dalam budaya patriarki) cowok kaya, ganteng, baik hati yang mau sama cewek-cewek yang masuk kategori perawan tua?