Sabtu, 09 Maret 2019

TRADISI ATAU IKATAN?

Ceritanya beberapa hari terakhir ini karena habis melayat ke rumah duka. Dari situ ada beberapa cerita. Yah bukan cerita menarik gimana sih tapi mungkin bisa dijadiin pelajaran buat gue.



Pertama soal dikubur atau dikremasi?
Kadang ada orang-orang, biasa yang sudah tua atau sakit yang memang udah tinggal menunggu waktu saja yang sudah berpesan nanti meninggalnya mau dikubur atau dikremasi. Tapi waktu bahas sama Indah, ini sebenarnya lebih ke hak orang yang masih hidup untuk menentukannya, karena kalau sudah meninggalkan dunia ini, seharusnya orang yang meninggal sudah tidak perlu memikirkan lagi bagaimana ia akan dimakamkan, karena urusan pemakaman adalah urusan mereka yang masih hidup. 

Meski begitu, gue termasuk yang berpendapat tidak apa-apa menuruti keinginan terakhir orang yang akan meninggal, selama memang kita mampu. Misal, orang tersebut minta dikubur, yah sudahlah kita kuburkan saja selama kita juga mampu juga untuk merawat makamnya. Lalu ada lagi alasan, kali ini dari nyokap gue. Menurut nyokap kalau seseorang dimakamkan itu lebih baik daripada dikremasi, karena ada sesuatu untuk dikenang dan diberitahukan ke anak cucu. Sejujurnya, gue gak terlalu setuju sama alasan nyokap gue sih, karena menurut gue, kenangan itu hanya bisa dibentuk bila seseorang punya suatu ikatan dengan seseorang. Kalau cuma menuruti tradisi, itu selayaknya seperti membaca buku sejarah, kita hanya sekedar tahu tanpa mengenal. 

Untuk gue pribadi, karena gue lahir dari keluarga yang hidup berdasarkan kepraktisan, gue ngga punya "bonding" khusus dengan ortu gue. Ortu gue tipe yang bukan jarang lagi tapi nggak pernah yang namanya ngomong dari hati ke hati sama anak-anaknya. Mereka tipe yang menganggap, anak-anak harus mendengar apa kata orang tua terlepas apakah si anak setuju atau ngga dan ortu benar atau salah. Bokap gue tipe yang kalau lagi marah itu, cara terbaik menghadapinya adalah diam. Karena kalau kitanya semakin "nyahut" maka dia semakin marah. Ini bukan hal yang baik, karena justru akan menimbulkan masalah komunikasi di keluarga. Cuma susah juga sih bilang ini sama ortu, karena ortu gue itu generasi baby boomer, di mana mereka beranggapan semua perkataan dan perintah ortu itu adalah absolut. 

Balik ke masalah bonding, ini menurut gue ya, cuma daripada hanya mengikuti tradisi yang sebenarnya nggak terlalu personal, gue lebih suka kalau kita membuat tradisi sendiri dengan orang yang benar-benar kita anggap penting. Gue gak akan bahas soal gue sama ortu, secara ortu gue udah terlalu tua untuk bisa diubah. Misal andai gue punya pasangan, tiap ultahnya, gue ingin buat "tradisi" atau ikatan di mana hanya gue dan dia yang merasakan, misal ala dating deh. Jadi tiap ultah, gue dan dia akan nonton salah satu film favorit dia (entah donlot atau DVD) trus kita akan bahas soal film itu dan setelahnya gue masakin makanan favorit dia atau kalau ngga bisa masak, gue bakal pesan. Andai kata dia meninggal, mungkin di tiap ultahnya, gue akan tetap melaksanakan ritual yang sama untuk mengenang dia (bakal sedih pastinya, biasa berdua, sekarang sendiri).

Dibanding kalau gue dan dia ngga punya ritual apa pun dan hubungan gue sama dia juga biasa saja atau praktis aja, cuma demi tradisi, maka tiap cengbeng (misalkan) gue ke makamnya tapi berasa setengah hati. Karena menurut gue apa yang sebenarnya membentuk keluarga adalah ikatan atau bonding. Dari ikatan itu akan lahir kenangan saat waktu bersama seseorang berlalu.

Gue masih mengkondisikan gue datang dari bad house, sebuah keluarga disfungsional. Kalau bertanya sama nyokap, pernikahan itu buat apa? Maka nyokap gue pasti jawabannya kepraktisan, supaya ada yang bantu untuk menafkahi alih-alih paham ideal macam berbagi kebahagiaan. Karena itu nyokap gue selalu cemas, andai bokap gue udah nggak ada gimana dia hidup nanti, harapan nyokap yah cuma menumpang sama anak-anaknya. Buat nyokap, anak adalah investasi untuk merawat di hari tua dan juga asisten buat disuruh-suruh.

Bokap gue juga pandangannya ngga jauh beda sama nyokap. Makanya bokap selalu bilang, gue sebaiknya angkat anak untuk temenin (baca: urus) pas tuan nanti andai gue niat ngga menikah. Cuma masalahnya, bokap gue sadar ngga sih jaman sudah berubah. Memangnya urus anak ngga perlu biaya? Pendidikan  tuh ngga murah. Jangan menggampangkan sesuatu ala nyokap gue yang jawabnya enak, masukin sekolah negeri saja dan pakai KJP. Beuh, tau sendiri kualitas dan pergaulan sekolah negeri kayak apa? Trus jaminan apa tuh anak mau urus kita pas tua? Emang anaknya ngga ada keinginan dan kebutuhan pribadi? Ini juga salah satu hal yang bikin gue sulit respek sama kedua ortu gue, karena anak cuma dianggap investasi hari tua.

Kalau pun memang mau mengivestasikan sesuatu sama anak, investasikan macam teladan baik melalui contoh dan tindakan bukan nasehat murah di mulut. Soal siapa yang mengasuh atau merawat pas tua nanti, seharusnya itu jadi beban kita sewaktu muda untuk memikirkan masa depan kita. Baiknya anak juga kita bekali sebaik-baiknya supaya mandiri. Jadi idealnya, orang tua ngga menyusahkan anaknya pas tua dan anak juga jangan menyusahkan orang tuanya karena nggak mandiri.

Yah sebenarnya nggak salah juga jawaban menikah supaya ada yang menafkahi dan membantu bayar cicilan, cuma menurut gue itu awal yang salah, karena membuat seseorang jadi menggantungkan kehidupan dan kebahagiannya kepada orang lain. Kalau ternyata nggak sesuai ekspektasi yang ada kecewa dan jadinya malah menuntut orang lain untuk memenuhi harapannya.

Cinta itu tulus dan  sederhana.
Menikah itu rumit, butuh kesiapan mental dan finansial.

Jangan menikah karena tradisi.
Menikahlah karena ingin memperkuat ikatan yang sudah ada.

Jadi? Putuskan sendiri.