Selasa, 14 Maret 2017

Picky & Galau

Judul  "Picky & Galau" yang ada dalam postingan blog gue kali ini terinspirasi dari twits salah satu seorang pengguna twitter yang gue follow.

Jadi ada dalam salah satu rangkaian twitsnya yang menceritakan kisah cewek-cewek berumur antara 30-40 tahun yang galau dan picky soal jodoh. Bahasa ejekannya adalah cewek-cewek perawan tua. Mereka ini galau karena belum dapat jodoh juga meski usia mereka sudah sangat "matang" yang diakibatkan terlalu picky/pemilih dalam memilih jodohnya. 

Kebanyakan cewek-cewek itu maunya dapat jodoh cowok yang ganteng, tajir, baik, setia. Sementara, tau sendiri umur mereka ini boleh dibilang sudah termasuk kategori umur yang kalau untuk cewek itu tergolong mendekati (maaf) menopouse. Dan apa ada (normalnya, karena kita hidup dalam budaya patriarki) cowok kaya, ganteng, baik hati yang mau sama cewek-cewek yang masuk kategori perawan tua?

Jadi kenyataan menyakitkannya, cewek-cewek itu seharusnya "tau diri" dalam soal pilihan jodoh karena dilihat dari keadaan mereka, pilihan mereka sangat terbatas. Bahkan ada ungkapan kasarnya yang bilang, "Cewek kalau udah tua, dan mau dapat jodoh, nggak usah pilih-pilihlah. Masih untung ada yang mau," 

Istilah kasarnya, "Barang gak laku, udah bagus ada yang mau beli."

Dan (pengakuan menyakitkan), gue salah satu dari cewek-cewek yang udah masuk label perawan tua di society negara kita ini. Dan benar, gue merasa galau dan benar juga kalau gue picky soal jodoh. 

Galau

Tapi galau gue di sini bukan galau masalah jodoh (meski ada kalanya kepikiran juga, tapi bukan top priority) Galau gue di sini lebih galau ke persoalan duit. Alias umur sudah tinggal menghitung tahun mendekati kepala 4, tapi kok kondisi finansial gue menyedihkan amat. Hidup gue masih "disetir" sana sini karena gue masih numpang tinggal sama ortu gue. Bahkan gue nggak berdaya kalau ade gue udah mulai ancam ini itu. Jujur, saat nulis ini dan teringat hal itu, gue merasa depresi. 

Sekarang, ditilik dari segi karir. Gue termasuk orang yang gak punya karir. Meski bukan pengangguran, jenis pekerjaan yang gue jalani sekarang ngga akan pernah mencukupi kehidupan di Jakarta. Selain itu pekerjaan kantoran gue juga bukan jenis yang membanggakan, karena cuma administrasi, termasuk jenis pekerjaan yang melelahkan pula karena gue harus terus berkutat di depan komputer selama 8-9 jam gue kerja. Gaji kecil dan lingkungan kantornya  (menurut gue) juga kurang menyenangkan (mungkin karena banyak cewek, jadi rada deramah). Hanya kemalasan gue-lah dalam mengupdate CV dan mencari pekerjaan baru yang bikin gue masih bertahan bekerja di kantor tersebut. Mengingat, kantor juga tidak memberikan jaminan apa pun dalam hal kesehatan dan pensiun. #curhat

Gue kadang iri sama mereka yang bisa bekerja flexibel atau berwirausaha. Pengen sekali gue merasakan kerja di mana gue bisa menentukan sebagian besar keputusan dalam setiap pekerjaaan gue. Tapi bahkan kalau pun seandainya ada dermawan baik hati yang memberikan gue modal usaha, gue juga bingung mau usaha apa (loser amat sih gue). Walau paling dekat, gue mungkin akan buka toko kosmetik (karena secara pribadi, gue selalu suka melihat display make-up/skin care di department store) atau ATK atau sembako (kalau ini lebih karena barang kebutuhan).

Meski suka makan, jujur gue gak yakin bisa kalau urusan buka toko yang berhubungan sama makanan, macam restoran. Karena makanan itu, gue cuma suka makannya, tapi malas/ogah dengan keribetan persiapan masaknya atau pun masak itu sendiri (I cannot cook either). Walau saat gue nulis ini, gue juga dapat ide kalau, makanan juga bisa laku kok, asal bukanya jangan di mal kalau untuk pemula. Coba buka di area kantoran di mana yang jualan makanan masih jarang, ada kemungkinan laku (pengalaman pribadi). 

Mengapa gak coba mengerjakan sesuatu yang sesuai passion?

Sekali lagi, gue bahkan gak yakin apa passion gue, Karena gue ini tipe orang yang bosenan dan susah konsisten. Contohnya gak usah jauh-jauh, toh urusan baca dan blog aja gue tergantung mood. Bahkan mau nulis cerita saja, malasnya minta ampun, padahal ide sudah ada. Tapi kembali lagi ke eksekusi. Karena sebagus apa pun ide dan rencana namun hanya sebuah pepesan kosong tanpa eksekusi.

Picky

Oke, sekarang ke masalah jodoh. Wajar gak sih cewek yang gak laku itu masih pilih-pilih jodoh? Karena berapa sering, gue dibilangin seperti ini, "Udah Lin, jangan pilih-pilih lagi. Kalau sudah ada yang mau langsung jalanin aja, Trus pacaran jangan lama-lama."

Kita di Indonesia hidup dalam lingkungan sosial yang menuntut standar normal macam: kuliah, kerja, nikah dan punya anak. Untuk pembahasan gue kali ini, akan gue khususkan di 2 terakhir, yaitu nikah dan punya anak.

Ada kalanya gue merutuk lingkungan sosial ketimuran kita yang menempatkan cewek sebagai masyarakat kelas 2 di bawah cowok. Iya, gue tau adat patriarki emang susah diubah. Cewek di Indonesia, kalau gak nikah, dianggap nggak normal seperti difabel. Kalau sudah nikah dan punya anak baru bisa dianggap normal. Kadang gue bertanya siapa yang menentukan standar normal seperti ini? Generasi baby boomers? Padahal menikah menurut gue bukanlah keharusan, tapi lebih ke pilihan. It's not about mandatory but choice. Hanya karena pilihan kita berbeda dengan kebanyakan, lantas kita tidak normal?

Gue dibesarkan oleh nyokap yang selalu berkata, gue harus nikah dan punya anak, supaya ada yang merawat gue saat tua nanti. Jadi anak dan suami adalah investasi kalau dari perspektif nyokap gue. Makanya setiap kali gue udah mulai menimpali sesuatu tentang kisah anak-anak yang gak mau merawat ortunya atau pernikahan yang gagal, nyokap selalu ketar ketir bahwa gue akan punya pikiran nggak mau nikah.

Tapi gue coba membuka perspektif lain, mungkin nyokap begini karena gue bukan hanya medioker, tapi gue juga loser. kalau saja gue sukses secara financial, mungkin nyokap juga gak akan ribut-ribut urusan nikah. Bukan bermaksud materialistis, tapi akui saja dengan uang, kenyamanan bisa di dapat. Gue tidak menulis apa pun bisa dibeli dengan uang, hanya kenyamanan. Dalam hal ini, seandainya gue kaya raya, gue ngga perlu khawatir siapa yang tua bakal urus gue, karena gue bisa sewa perawat dan hidup nyaman berkecukupan. Malah kalau ditambah unsur kemanusiaan, gue mungkin akan bangun panti jompo yang bagus dengan tenaga-tenaga profesional dan yang tua-tua selain bisa nyaman juga bisa dapat teman seumuran.

Tapi karena gue bahkan hidup masih ditopang ortu, wajar kalau ortu cemas, siapa yang bakal jaga gue nanti kalau mereka udah gak ada. Dan dalam pikiran nyokap gue, pilihannya hanya nikah, karena emang nyokap masuk generasi baby boomers di mana cewek dianggap ngga bisa mandiri dan butuh suami serta anak untuk bertahan hidup. Gue inget dia pernah curhat sekali ke gue, waktu dia masih muda dan belum ketemu bokap, dia membayangkan seandainya dia gak nikah, paling dia cuma numpang hidup sama saudara dan jadi "pembantu" mereka alih-alih pikiran untuk mandiri.

Salah satu faktor lain kenapa gue ngga ngebet amat sama urusan jodoh, adalah melihat hubungan ortu gue aja, udah bikin gue mikir panjang soal pernikahan. Pastor gue sendiri pun berbicara, nikah itu bukan tentang mencari kebahagiaan, sebaliknya nikah itu justru untuk memberi kebahagiaan. Karena kalau mencari kebahagiaan yang ada malah tuntutan yang akan bikin kita kecewa. Yah, mungkin karena sebagian besar diri gue masih egois, gue belum kepikiran untuk bisa menjalin hubungan sama orang.

Yang terakhir mungkin karena gue introvert, jadi gue menikmati kesendirian. Karena seorang introverts, sangat menghargai personal space. Namun bukan berarti introvert ngga mau companionship. Asal ketemu orang yang klik mereka justru senang dengan companionship kok.

Oke, balik ke soal picky. Menurut gue memilih pasangan hidup itu memang HARUS picky, berapa pun umur kita. Karena pasangan hidup tidak bisa disamakan seperti memilih pekerjaan. Seseorang bebas berganti pekerjaan kalau ada yang lebih baik. Tapi pasangan hidup, pilihannya 2, stick with him/her forever atau cerai.

Tentu orang normal, ingin pilihan pertama alias pernikahan seumur hidup. Namun kita tidak pernah tau kendala apa saja yang bakal kita temui dalam pernikahan kita. Dan berapa kali kita dengar cerita, bahwa pacaran berbeda dengan menikah. Bahkan pacaran cukup lama tidak menjamin kita akan mengenal pasangan kita 100%, karena itu lah menikah bukan hanya sekedar menuntut tapi juga memberi.

Gue pribadi nggak menuntut pasangan yang ganteng dan mapan, gue tau diri dengan kondisi gue yang jauh dari menarik, belum lagi faktor U. Tapi nggak salah juga kan kalau gue pengen cowok yang peduli sama gue. Peduli sama gue dalam arti dia mau mencoba melengkapi kekurangan-kekurangan gue dan juga sebaliknya, karena gue bisa membantu melengkapi kekurangan-kekurangan dia. Ngga harus mapan, cukup seimbang dengan gue lah, Dalam artian ada pekerjaan, dan setuju untuk tinggal terpisah dari ortu sesudah menikah, apakah punya rumah sendiri atau ngontrak, terkecuali ortunya hanya 1 dan tidak mampu mengurus diri sendiri.

Kalau dipikir-pikir, ini juga tuntutan ya. Tapi tuntutan gue khususnya yang ke-2 mungkin karena gue melihat banyaknya salah satu masalah rumah tangga akibat campur tangan orang tua terhadap pernikahan anaknya. Tapi bagaimana pun gue flexibel, kalau (puji syukur) mertua gue orang yang baik hati dan bijaksana, justru bisa dijadikan teman bicara juga kalau tinggal serumah, walau persentasenya jarang yang seperti ini.

Intinya, I just want a nice right guy with good attitude. Rich & handsome only bonus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar